Sebuah Doa

Mungkin telah lelah ia berjalan. Kakinya yang bersepatu hitam (yang bisa dikatakan tidak hitam lagi karena sudah terlalu lama umurnya)sengaja digunakan untuk beradu dengan kerikil di tepi jalan yang membuat debu turut berperan menambah polusi udara yang sudah tidak sehat ini.
Peluh yang dengan santainya menggelincir di keningnya sekaligus membuat peta putih di topi merah kebanggaannya tak dihiraukan sama sekali.
Yang dirasakannya hari ini begitu panas. Sepanas hatinya yang sakit karena tak boleh mengambil rapor semester akhirnya.
Masih lekat betul di memori otaknya bagaimana bu guru Mira tadi mengatakan padanya bahwa ia tidak boleh mengambil rapor kecuali dengan orangtua atau walinya. Padahal bu guru Mira tahu dengan siapa ia tinggal, dan bagaimana keadaan dirinya.
Hmm..mungkin memang begini yang harus ia jalani. Hidup seorang diri tanpa orangtua, sedangkan Mbah Yaminah yang hingga saat ini tinggal bersama dengannya adalah seorang nenek angkat yang sudah sakit - sakitan. Lantas siapa yang mengambilkan rapornya ?
Dihentakkan saja pantatnya pada sebuah bangku semen di taman sebuah kompleks perumahan elit di kampung tempat ia tinggal dan menuntut ilmu. Di komplek perumahan ini beberapa orang kawannya tinggal. Sambil menyeka keringat dengan punggung tangannya ia mengerjapkan matanya yang sudah dirasa lelah. Teriknya matahari bulan Juni benar - benar tak bisa ditawar lagi. Seakan dengan senang hati ikut serta menambah suhu panas hatinya. Ah, andai saja kedua orangtuanya masih ada. Andai saja Mbah Yaminah ga sakit - sakitan, andai saja ada saudara, andai saja....menung ia berandai - andai ditemani semilir yang sedikit menghibur memberinya kesejukkan.
Sedikit enggan ia langkahkan kaki meninggalkan taman fasum di komplek perumahan elit itu. Ia mencoba menelan sisa ludah dan bertanya pada dirinya sendiri, akankah ia dapat menyelesaikan sekolahnya yang tinggal satu tahun saja ? 
Tuhan, aku tak menyalahkan siapa - siapa. Tidak kedua orangtuaku yang entah di mana keberadaannya, tidak Mbah Yaminah yang sering sakit - sakitan, tidak juga bu guru Mira yang sudah dengan patuhnya menaati peraturan yang telah ditetapkan pihak sekolahnya. Hanya saja apakah seperti ini jalan hidup yang harus aku tempuh...? Setidaknya berilah aku sedikit keberuntungan dalam menjalani hidup ini. Ya, paling tidak aku bisa memperoleh ijazah sekolah dasar yang kurang satu tahun lagi ini.
Tuhan, jika aku Kau ijinkan untuk memilih, ingin rasanya aku memilih jadi anak orang berkecukupan, hingga tidak dengan susah payah kupikirkan masa depanku ini. Alangkah bodohnya mereka yang Kau beri orangtua yang dapat sepenuh hati menyayangi mereka, membiayai pendidikan mereka, namun disia - siakan dengan bermain - main, boros, bahkan menyakiti hati keduanya.
Kini aku hanya bisa ikuti jalan ini. Lurus. Seperti yang telah Kau gariskan. 
Tuhan, ijinkan aku mengubah jalan hidup ini menjadi lebih baik. Ini pintaku, dan aku yakin Kau mendengar permohonan hamba-Mu yang hina ini.


*Rano, bagaimana kabarmu ?

The Author : Unknown ~ Di sini aku ingin berbagi,menuangkan tangis,sepi,cinta dan senyuman

PostingSebuah Doa ini dipublish oleh Unknown pada hari Rabu, 04 Juli 2012. Adakah engkau yang bisa mengerti tentang galau rembulan di ujung sepi,mengurai bait kemurungannya bersama seulas mendung yang mungkin takkan bisa mengerti 0 komentar: di postingan Sebuah Doa
 

0 komentar:

Posting Komentar